“Stand by..!!!”
Aku berteriak pada belayer untuk segera bersiap – siap.
“Hupp.. Full..!”, kataku memberi aba – aba.
Tanganku mulai menggerayangi dinding tebing yang penuh dengan batu – batu kecil mencuat. Kakiku menumpu pada rekahan tebing, kulongokkan kepala ke atas. Tebing ini begitu tinggi, begitu kokoh. Disini aku merengek – rengek ingin menandinginya. Sedangkan disana sekitar satu metrer dari tebing, terdapat tanah melandai ditutupi oleh semak belukar, berakhir di jurang yang menganga lebar.
***
Sejak kecil aku hidup di tengah keluarga yang harmonis. Setidaknya begitulah anggapan orang. Ayahku seorang pilot pesawat tempur di sebuah pangkalan udara milik TNI AU. Saat libur panjang beliau sering mengajakku ke tempat – tempat yang pernah dikunjunginya selama ia bekerja. Sungguh tempat – tempat yang yang indah. Dari ayahkulah jiwa petualang ini muncul. Ayahku, laki – laki pendiam dengan sorot mata setajam elang.
***
“Full…!!”
Perintahku pada belayer untuk menarik tali kernmantel yang mendampingiku memanjat tebing ini. Aku merangkak, kupijakkan kaki ke rekahan terdekat, mencari celah senyaman mungkin. Otot – otot tangan dan kakiku mulai menegang, kurasakan getarannya. Tapi aku tak boleh menyerah. Bau lumut – lumutan dan lichen di depanku terbawa hembusan angin ke dalam penciuman.
***
“Ros.. kelak kalau kamu sudah dewasa, bebaskan hidupmu seperti ayah. Lakukan apa saja yang kau inginkan. Kunjungi tempat – tempat asing yang belum pernah kau kunjungi.” Suatu sore ayah bercerita di teras rumah kami.
“Ros… tahukah kamu cita – cita ayah? Ayah ingin sekali mati di udara, tempat kebanggaan ayah, tempat bertahun – tahun mengabdi kepada banyak orang.” Mataku hanya membulat mendengar ucapan ayah. Bagiku semua itu adalah petuah yang sangat berarti. Laksana pohon – pohon pinus yang terselimuti kabut di pagi hari. Walau tak ku pahami maksudnya, aku yakin ucapan ayah selalu benar.
Kini mimpi ayahku menjadi kenyataan. Ia meninggal dalam sebuah kecelakaan ketika bertugas. Tepat sehari setelah wanita yang menyebut dirinya sebagai ibuku itu meninggalkan kami. Ia kabur bersama seorang pengusaha rotan. Hahaha, sudahlah! Cerita klasik. Bahkan aku tak merindukannya. Tapi ayahku, setiap kali kupijakkan kaki di tempat – tempat indah tak terperi, tempat dimana semua petuah ayahku terpenuhi, aku selalu terkenang akan dia.
***
Beberapa bagian kulitku mulai perih, gesekan dinding tebing ini yang menyebabkannya. Nafasku tersengal. Aku berhenti sejenak di teras tebing yang agak menjorok ke dalam. Rupanya tiga perempat bagian terbing ini sudah kudaki, perjalananku tinggal sekitar tiga meter lagi. Sungguh aku sangat menyukai olahragfa ekstrim ini. Walau sangat menguras tenaga dan membutuhkan kehati- hatian. Hal yang paling utama dalam panjat tebing adalah kelenturan tubuh serta kekuatan otot – otot tangan dan kaki.
Hari ini aku ingin bermimpi seperti ayah, akan kuteruskan cita – cita ayah. Aku bertekad. Mungkin tekad inilah yang memberiku kekuatan sehingga over hang yang mustahil untuk dipanjat bisa kulewati.
Setelah berada diatas over hang, kubalikkan badan. Kutatap pemandangan menakjubkan yang terhampar didepanku. Seolah sengaja diciptakan Tuhan untukku. Kabut yang menutupi pucuk – pucuk pohon, diatasnya bukit berjejer rapi. Dan tepat beberapa meter didepanku, beberapa burung berkicau riang sambil menari berlatar langit biru dihiasi oleh gumpalan kapas – kapas lembut. Kuhirup udara diatas sini. Sejuk memenuhi rongga paru – paruku. Segala lelahku hilang membayangkan aku berada di tempat tertinggi disini. Aku tersenyum lebar, kurasa ayah ikut tersenyum diatas sana.
Kini saatnya. Waktu cita – citaku terwujud. Aku tersenyum simpul. Kuputar sekrup carabiner yang terkait pada tali, aku bebas tanpa pengaman. Lalu detik berikutnya aku terlentang menatap langit, terjun bebas melawan angin. Jurang di bawah sana menantiku, bagai seorang ibu yang menanti anaknya. Tebing yang barusan kupamjat terlihat melambai haru melepasku. Kupejamkan mata. Dalam keremangan, kulihat ayah menyambut kedatanganku.
18 februari 2011
My First cerpen